Selasa, 13 Januari 2015

Sinopsis "Melawan Takdir"

Bagaimana mungkin dari desa terpencil, yatim, keluarga buta huruf dan sangat miskin mampu S2 dan S3 di luar negeri dan menjadi professor termuda ?



         
  "Terkadang aku mendapatkan perlakuan berupa pengabaian atau penomorduaan dari sikap orang di sekitarku, mungkin karena kondisi ekonomi keluargaku. Yang positif tapi menyedihkan adalah usapan kepala yang sering aku terima bila ada keluarga yang singgah ke gubukku, sebuah usapan yang membantuku kuat secara psikologis bahwa kondisi kehidupan ekonomiku yang serba terbatas tidaklah kami jalani sendiri. Mungkin itulah yang bekerja di bawah alam sadarku bahwa usapan kepala yang sering kualami dari orang-orang yang bersimpati membuatku tegar menapaki nasib."



           "Itulah kekuatan sekolahku dengan suasana kebersahajaan kampung yang dimilikinya. Doktrin sekolah tentang kesuksesan sangat jauh dari sentuhan materialisme, yang berbeda dengan suasana yang dialami oleh kebanyakan murid-murid di sekolah mahal yang sibuk mempertontonkan kejayaan ekonomi orang tuanya. Dari gejala ini, muncullah anekdot tentang arogansi murid-murid terhadap lainnya. Konon tiga murid SD ditanya oleh ibu gurunya mengenai pekerjaan orang tuanya. Anak pertama menjawab: "Sebagai pilot, ayahku sudah melintasi lima benua," yang disaluti oleh kekaguman ibu gurunya. Anak kedua tidak mau kalah dari yang pertama dengan mengatakan: "Sebagai nahkoda kapal pesiar, ayahku sudah mengarungi semua samudra. "Gurunya pun berdecak kagum dengan kehebatan ayah murid keduanya. Dan murid ketiga yang ayahnya hanya tukang cat merasa nyali arogansinya tertantang oleh kedua temannya, ia lalu bertanya kepada gurunya: "Apakah ibu pernah mendengar Laut merah ? Gurunya menjawa: "Pernah nak," Murid ketiga itu bertanya lagi: "Pernahkah ibu guru mendengar Laut hitam ?" Ibu gurunya sekali lagi menjawab: "tentu pernah nak." murid ketiga itu mengunci dengan mengatakan: "Kedua laut itu, ayahkulah yang mengecatnya." 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar